Kupang, Agustus 2025 — Munculnya frasa “No Viral No Justice” di tengah masyarakat menjadi refleksi kuat atas kekhawatiran publik mengenai efektivitas sistem hukum. Namun bagi Kabid Humas Polda NTT Kombes Pol Henry Novika Chandra, S.I.K., M.H., ungkapan tersebut tidak lantas ditolak, melainkan dijadikan bahan evaluasi dan pembenahan internal.
“‘No Viral No Justice’ adalah bentuk kritik sosial yang sah. Tapi jawaban kami adalah Justice is served — keadilan tetap ditegakkan, tidak bergantung pada viral atau tidaknya sebuah kasus,” tegas Kombes Henry.
Analisis Sosial dan Pendekatan Profesional
Dari perspektif Teori Agenda-Setting dalam komunikasi massa, media memang dapat membentuk persepsi publik mengenai apa yang penting. Kombes Henry menjelaskan bahwa hal inilah yang menyebabkan banyak kasus baru dianggap “bernilai” ketika telah ramai di media sosial. Namun, ia memastikan bahwa institusi Polri — khususnya Polda NTT — tetap menempatkan semua laporan masyarakat sebagai prioritas yang sama.
Di sisi lain, sosiologi hukum juga menjelaskan munculnya frasa “No Viral No Justice” sebagai akibat dari jarak antara hukum normatif dan hukum yang dirasakan publik. Untuk itu, keterbukaan dan kecepatan respons menjadi kunci mengembalikan kepercayaan publik.
Tiga Strategi Humas Polda NTT Hadapi Ketidakpercayaan Publik
- Transparansi dan Keterbukaan: Menyampaikan setiap perkembangan penanganan kasus secara terbuka, baik kepada media maupun masyarakat.
- Responsif dan Partisipatif: Aktif memanfaatkan media sosial untuk merespons isu dan menampung aspirasi masyarakat.
- Proaktif dan Edukatif: Tidak menunggu viral, melainkan secara berkala menyampaikan informasi hukum, prosedur pelaporan, dan hak-hak masyarakat.
“Dengan komunikasi yang terbuka dan edukatif, kami ingin mengubah narasi ‘No Viral No Justice’ menjadi ‘Justice is served’ — di mana keadilan tidak membutuhkan panggung untuk bisa ditegakkan,” pungkas Kombes Henry.